LiburanIdul Fitri tahun ini sungguh seru dan berkesan sekali bagi saya. Kesan yang paling seru dan lucu menurut saya ialah ketika kami duduk di pondok, kemudian ada bunyi durian jatuh. Setelah kami datangi dan cari-cari, ternyata bukan durian yang kami dapat melainkan buah kelapa yang sudah kering.
ContohCeramah Tentang Idul Fitri - Rasmi B. UPI Selenggarakan Lomba Menulis Puisi dan Cerpen. Jual Buku (SERI HARI RAYA ISLAM) IDUL ADHA PERTAMAKU oleh Tim Divaro - Gramedia Digital Indonesia Cerpen Tentang Idul Adha. Contoh Karangan dan Cerita Tentang Pengalaman di Hari Raya Idul Adha 1442 H - Guru Penyemangat.
Liburakhir tahun pelajaran kali ini sangat menyenangkan karena libur sekolah bersamaan dengan libur Hari Raya Idul Fitri. Ayah dan Ibu juga memperoleh cuti hari raya, sehingga kami dapat menghabiskan waktu bersama-sama lebih lama daripada libur tahun-tahun sebelumnya. Kami berencana untuk pergi ke rumah nenek di Brebes.
IdulFitri sebagai Anugerah Umat Islam "Perenungan Menjadi Manusia". Hari Raya Idul fitri adalah salah satu hari besar bagi umat Islam sebagai perayaan kemenangan setelah selama satu bulan berpuasa. Puasa bukan ha.
Washilah- Bicara tentang idul fitri atau hari lebaran, pasti yang terbayang adalah tampilan dan makanan yang istimewa. Tapi, seperti apakah sunah tentang adab hari raya? Yuk simak berikut ini: 1.Mandi. Yaps, saat hari raya disunahkan untuk mandi sebelum melaksanakan Salat Id, bahkan ada yang berpendapat seperti mandi janabah.
Materikhutbah Jumat singkat tentang Idul Fitri 1443 H banyak dicari-cari sebagai inspirasi. Berikut contoh khutbah Idul Fitri terbaik sepanjang masa. Melansir buku 'Kumpulan Khutbah Jumat' terbitan Uwais Inspirasi Indonesia dalam inews.id, berikut khutbah Idul Fitri singkat 2022 yang bisa dibaca di akhir Ramadan.
. Di akhir Ramadhan, santri dan pelajar sudah memasuki masa-masa libur. Bagi para pekerja pun, waktu libur lebaran akan tiba pada pekan ketiga dan keempat bulan Ramadhan. Ada banyak waktu luang yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan positif, di antaranya adalah membaca. Selain memperbanyak tadarus, salah satu hal yang bisa dilakukan untuk mengisi waktu luang tersebut adalah membaca buku, di antaranya kumpulan cerpen. NU Online menghadirkan empat kumpulan cerpen yang dapat mengisi waktu-waktu senggang selama Ramadhan di libur lebaran. Cerpen merupakan akronim dari cerita pendek, sebuah karya sastra dengan bentuk prosa yang bisa dibaca dengan sekali duduk. Tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikan satu cerita. Di dalam buku kumpulan cerpen, terdapat beberapa cerita yang satu dengan lainnya tidak saling berkesinambungan. Karenanya, pembaca dapat memilih cerita mana yang hendak dibaca lebih dulu. Meskipun ceritanya ringkas, tetapi cerpen dapat menghadirkan berjuta hikmah bagi pembacanya. Ada berbagai pelajaran penting yang bisa dipetik dari kisah yang demikian ringkas. Sebab, bagaimanapun, karya sastra mampu memberikan pengalaman kepada pembaca tanpa harus mengalaminya sendiri. Berikut ada empat kumpulan cerpen yang NU Online rekomendasikan untuk dibaca di penghujung Ramadhan dan lebaran, yaitu 1 Lukisan Kaligrafi, 2 Senyum Karyamin, 3 Robohnya Surau Kami, dan 4 Panggilan Rasul. 1. Lukisan Kaligrafi Buku ini memuat 15 cerpen karya KH Ahmad Mustofa Bisri. Sebagian cerpennya terbit di sejumlah media nasional, sedang sebagian lainnya belum terpublikasikan. Cerpen-cerpen ini banyak berkisah tentang lingkungan pesantren sebagaimana latar belakang penulisnya yang seorang kiai. Ada pula yang bercerita mengenai perjodohan atau perkawinan. Menariknya, cerpen-cerpen karya Gus Mus ini mengandung berbagai macam kejutan yang akan membuat pembaca tidak menduga-duganya. Pun beberapa cerpen memuat kisah-kisah yang tak biasa, di luar nalar manusia biasa, tetapi akrab di telinga masyarakat pesantren. Cerpen-cerpen ini lebih banyak menekankan pada sosok tokohnya. Tak pelak, judulnya pun berupa nama tokohnya, seperti Gus Jakfar, Gus Muslih, Ning Ummi, Kang Amin, Kang Kasanun, Ndara Mat Amit, Mbah Sidiq, dan Mbok Yem. Namun, ada pula yang tidak berjudul nama tokohnya, seperti Amplop-Amplop Abu-Abu, Bidadari Itu Dibawa Jibril, Iseng, Lebaran Tinggal Satu Hari Lagi, Lukisan Kaligrafi, Mubalig Kondang, dan Ngelmu Sigar Raga. 2. Senyum Karyamin Bila buku di atas banyak berkisah tentang pesantren, rekomendasi kedua ini lebih banyak bercerita tentang wong cilik, mulai dari pekerja kasar, buruh, sampai pengemis di bus. Demikianlah kekhasan cerpen-cerpen yang ditulis oleh Ahmad Tohari. Buku ini memuat 13 cerpen karyanya dari tahun 1976 sampai 1986. Berkatain dengan wong cilik, tentu saja yang dikisahkan adalah perihal penderitaannya yang demikian pedih, seperti kelaparan di tengah pekerjaan berat yang harus dituntaskan, keracunan singkong, mayat yang tak terurus, hingga kehamilan seorang perempuan tanpa suami yang membuat heboh kampung. Namun, ada pula cerita yang sedikit di luar nalar seperti beberapa cerpen Gus Mus di atas. Cerpen karya Ahmad Tohari yang demikian itu berjudul Pengemis dan Shalawat Badar. Cerpen ini mengisahkan seorang pengemis yang meminta-minta di bus sembari melantunkan Shalawat Badar. Ia sempat diusir oleh kondektur saat bus telah melaju kencang, sebelum ia keluar sembari tetap dengan melantunkan shalawat yang sama. 3. Robohnya Surau Kami Berbeda dari dua buku di atas, kumpulan cerpen ini mengisahkan cerita tentang orang-orang yang haus pengakuan, baik dari sisi agama maupun sosial. Dari sisi agama, cerita Ajo Sidi dalam Robohnya Surau Kami seolah membutuhkan pengakuan bahwa dirinya menahbiskan diri untuk mengabdi kepada Tuhan dengan aktif beribadah di surau, tetapi di sisi lain, ia sendiri melupakan keluarganya. Menariknya, cerpen tersebut menampilkan dialog imajiner di alam akhirat. Ada pula yang haus pengakuan di ranah sosial seperti yang ditunjukkan dalam cerpen Anak Kebanggaan. Anak yang dibangga-banggakan itu tidak pula mengabarkan berita kelulusannya sebagai dokter. Bahkan surat-surat yang dikirimi ayahnya kembali ke pengirimnya, tak sampai ke putranya itu. Kisah-kisah cerpen tersebut menarik benang merah mengenai perlunya manusia hidup dengan manusia lainnya. Membaca cerpen-cerpen tersebut akan menumbuhkan jiwa dan semangat hidup kita sebagai makhluk sosial yang perlu untuk berinteraksi dengan manusia lainnya, tidak sibuk hanya memikirkan dunianya sendiri. Buku ini memuat 10 cerpen karya Ali Akbar Navis, seorang sastrawan kenamaan asal Sumatra Barat. Kumpulan cerpennya ini terbit pertama kali pada tahun 1986. 4. Panggilan Rasul Buku ini merupakan karya Hamsad Rangkuti. Berbeda dengan kumpulan cerpen lainnya, buku Hamsad yang ini banyak berkisah mengenai cerita-cerita yang berkaitan dengan peristiwa agama, seperti lebaran, khitan, mengaji, hingga lailatul qadar. Berkaitan dengan lebaran, ada empat cerpen, yaitu Salam Lebaran, Malam Takbir, Hujan dan Gema Takbir, dan Reuni. Tentang malam lailatul qadar, ada dua cerpen, yakni Lailatul Qadar dan Malam Seribu Bulan. Ada juga yang berkisah tentang pengajian, yaitu Ayahku Seorang Guru Mengaji. Sementara yang bercerita tentang khitan adalah Panggilan Rasul. Cerpen-cerpen tersebut mengisahkan berbagai ironi yang muncul di tengah masyarakat di waktu-waktu yang harusnya penuh sambutan gegap gempita. Hal demikian memberikan pembelajaran yang berarti bagi pembaca, khususnya dalam bersyukur dan bersabar. Buku-buku kumpulan cerpen itu, kecuali Robohnya Surau Kami, bisa dibaca melalui aplikasi iPusnas, yaitu aplikasi digital milik Perpustakaan Nasional. Melalui aplikasi itu, kita bisa membaca berbagai macam buku yang tersedia secara digital dan gratis akses. Penulis Syakir NF Editor Fathoni Ahmad
Penghujung Ramadan telah tiba, sekarang adalah hari terakhir di bulan Ramadan. Aku bahagia karena Idul Fitri telah tiba. Namun, aku juga sedih karena Ramadan akan pergi. Aku berharap dan berdoa supaya tahun depan aku dan keluargaku masih dapat bertemu kembali dengan Ramadan, dan menjalani Ramadan bersama-sama lagi. Waktu sudah menunjukkan pukul WIB ibuku memasak ketupat sayur di dapur, seperti lebaran sebelumnya pasti selalu ada ketupat sayur di rumahku untuk disantap bersama-sama oleh keluarga. Aku membantu ibuku menyiapkan bumbu-bumbu ketupat, sedangkan ayahku sedang mengecat pagar rumah agar terlihat lebih asri, kakak laki-lakiku sedang mencuci motornya di doorsmeer. Aku sangat senang hawa-hawa seperti ini jarang sekali ditemui, tetanggaku yang juga mengecat rumahnya, ada juga yang menggunakan gorden baru, serta keset baru. Ibu memanggilku, “Aulia! Sini ke dapur, bantu Ibu memasak ketupat sayur. Coba kamu potongin wortel dan daun bawangnya” ujar ibu. “Baik, Bu.” Sahutku. Kemudian aku memotong wortel dan daun bawang sesuai yang ibu inginkan. Kemudian datang keponakanku yang berumur 2 tahun, dengan tingkahnya yang konyol dan menggemaskan ia meminta air minum kepadaku, akhirnya aku memberinya minum. Suasana sangat bahagia pada saat itu. Kurasa waktu begitu terburu-buru, kini langit sudah berubah warna menjadi gelap, pertanda bahwa hari sudah berganti malam. Gaung takbir pun telah terdengar, “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar Walillahilham..” Sejak tadi sore aku dan keluargaku tidak berhenti-hentinya menyiapkan dan merapihkan rumah untuk menyambut lebaran esok hari, kue-kue lebaran sudah disiapkan beserta ketupat sayur yang sudah matang, baju lebaran sudah disetrika. Setelah itu, aku, ibu, dan ayahku saling menggemakan takbir di rumah. Aku sudah tidak sabar untuk hari lebaran, biasanya setiap lebaran aku dan keluargaku keliling kampung untuk bersalaman dan bermaaf-maafan. Kakakku setiap malam takbiran selalu mengikuti lomba takbir dan Alhamdulillah ia dan timnya mendapatkan juara 2 untuk tahun ini. Hari telah berganti, hari yang kutunggu-tunggu sudah tiba. Namun, ada yang aneh pada pagi hari ini. Aku terbangun karena mendengar suara tangisan ibuku. Suara itu terdengar dari kamar ayah dan ibuku. “Ayah, bangun, Yah jangan tinggalkan kami.” Kata ibu bersamaan dengan isak tangisnya. “Ayah, bangun!” Kata kakakku. Aku segera berlari menuju kamar ayah dan ibu, ternyata ayahku sudah pergi mendahului kami. Aku sangat tidak menyangka, sekujur tubuhku lemas atas kejadian itu, “Innalilahi wa innailaihi raji’un” ucapku dalam hati. Bibirku tidak sanggup untuk mengeluarkan satu kata pun, hanya air mata yang mengalir deras di pipiku. Ibu memelukku dan mencoba menenangkan aku yang sudah tidak berdaya. Lalu kakakku segera pergi ke rumah RT dan pergi ke masjid untuk memberikan informasi atas meninggalnya ayah kami. Hati kami begitu hancur, di hari raya yang fitri nan suci, kami berharap akan bahagia bersama keluarga besar, ternyata ayah sudah pergi dijemput Sang Ilahi. Hanya doa yang bisa kupanjatkan, semoga ayah dapat tenang di alam sana, dan ayah dapat masuk ke dalam surga-Nya Allah SWT, Aamiin. Ternyata Ramadan tahun ini adalah Ramadan terakhir bersama ayah, begitu juga untuk Idul Fitri tahun ini, ayah tidak lagi menemani. Ayah membiarkan kami merayakan lebaran tanpa dirinya. Hatiku hancur, belum sempat diri ini meminta maaf kepadanya. Belum sempat diri ini membahagiakan dirinya. Kini aku hanya memiliki satu orang tua, yaitu Ibuku. Aku selalu berdoa agar ibuku diberi umur yang panjang dan sehat selalu, agar kami bisa selalu bersama-sama dan aku dapat membuat bangga serta memberi kebahagiaan kepada ibuku selama di dunia. Kebiasaan kami untuk berkeliling kampung saat Idul Fitri pun tidak terlaksana pada tahun ini, karena kami harus mengurus dan mengubur jenazah ayah. “I love you, Ayah. Nanti kita kumpul lagi, ya di surga-Nya Allah. Aamiin.” Kataku, lalu menyium kening ayah sebelum dimasukkan ke dalam keranda oleh para tetanggaku. Aku melihat ibu mencoba untuk tetap tegar, kakakku yang ikut mengangkat jenazah ayah pun mencoba untuk terlihat baik-baik saja, walaupun aku tahu dalam hatinya begitu hancur atas kepergian ayah. Tahun ini Idul Fitri terakhirku bersama ayah. oleh Hamidah, Universitas Negeri Jakarta Post Views 1,998
- Cerpen Idul Fitri adalah cerita pendek yang berisi tentang peristiwa, pengalaman, atau kisah yang terjadi selama Hari Raya Idul Fitri 2023. Cerpen ini dapat berisi berbagai hal, seperti kisah tentang kebersamaan keluarga saat berkumpul di rumah, kegembiraan dalam menikmati hidangan khas Idul Fitri, perjalanan pulang kampung, atau pengalaman lainnya yang terkait dengan perayaan Idul Fitri. Cerpen Idul Fitri biasanya mengandung pesan moral atau nilai-nilai kehidupan yang ingin disampaikan oleh penulisnya, seperti pentingnya saling maaf-memaafkan, kebersamaan, rasa syukur, dan nilai-nilai keagamaan lainnya. Baca Juga Cerpen Ramadhan 2023, Sebulan Penuh Berkah Cerpen ini dapat menjadi sarana untuk menyemangati pembaca dan mengingatkan mereka tentang makna sebenarnya dari Hari Raya Idul Fitri. Cerpen Idul Fitri sering diterbitkan di media massa, seperti surat kabar, majalah, atau antologi cerpen. Selain itu, cerpen ini juga dapat dibaca secara online di situs web atau aplikasi cerita pendek. Berikut ini adalah contoh cerpen tentang Hari Raya Idul Fitri 2023 Judul Kembali Bersama Keluarga Tercinta Santa telah menantikan hari yang paling dinantikan sepanjang tahun, yaitu Hari Raya Idul Fitri 2023. Ia telah menyiapkan segala sesuatunya dengan baik, mulai dari persiapan pakaian baru hingga makanan lezat untuk disajikan kepada para tamu yang akan berkunjung ke rumahnya. Baca Juga Cerpen Ramadhan 2023 Malam Pertama di Bulan Puasa Namun, ada satu hal yang membuat Santa sedih, yaitu karena ia tidak bisa berkumpul bersama keluarganya yang tinggal jauh di kampung. Ia merindukan suasana lebaran yang selalu meriah dan penuh kebahagiaan bersama keluarga. Namun, Santa tetap berusaha untuk menikmati hari raya Idul Fitri di kota tempat ia tinggal. Ia memutuskan untuk mengunjungi rumah teman-temannya yang juga merayakan Idul Fitri di kota tersebut. Santa merasa bahagia bisa bertemu dan berbincang-bincang dengan teman-temannya yang juga merindukan keluarga mereka di kampung halaman. Namun, di tengah keramaian dan kegembiraan bersama teman-temannya, Santa merasa kesepian dan merindukan keluarganya semakin kuat. Ia merasa bahwa tidak ada yang bisa menggantikan kehangatan dan kebersamaan dengan keluarga di hari raya Idul Fitri.
Idulfitri untuk Ibu Cerpen Siswati Pukul 10 malam. Gerimis masih membasahi setiap jengkal tanah yang kupijak. Sementara, angin berhembus kian kencang menusuk hingga ke persendian tulangku. Kurapatkan mantel yang tengah kupakai. Perlahan aku mulai melakukan tugasku, mengunci pintu pagar. Tugas ini hanya kulakukan ketika aku pulang kampung, ketika jadwal sekolah libur. Malam ini, aku mengunci pintu pagar lebih cepat dari biasanya. “Ibu tidak akan tahu,” pikirku. Cepat-cepat kuselesaikan pekerjaanku. Aku harus segera masuk sebelum ibu curiga dan “Yah, selesai,” ucapku lega. Dengan tergesa, aku kembali ke rumah, tapi sesampai di pintu aku tertegun akan kehadiran sesosok tubuh yang sudah sangat kukenal. “Bu, kenapa keluar? Nanti Ibu masuk angin!” ucapku cemas. Ibu cuma memandangku tajam dan perlahan beliau mengalihkan pandangan ke arah kunci pagar yang kupegang. Aku tersedak, segera aku sadar bahwa ibu telah memorgoki aksiku barusan. “Mereka tidak akan pulang malam ini, Bu,” ucapku bergetar. Aku tahu, ibu tidak akan suka mendengar perkataanku barusan, tapi aku sudah tidak punya kata-kata lain. Bahkan, aku memang tidak pernah punya jawaban atas pandangan ibu barusan. Aku cuma diam, lalu berbalik masuk ke rumah. Kalau sudah begini, ibu pasti akan menangis, meratapi nasibnya yang telah dilupakan anak-anaknya. Aku sadar bahwa perbuatan itu pelan-pelan telah membunuh harapan ibu, harapan untuk berkumpul dengan anak-anaknya lagi. *** Pagi itu, aku bangun lebih awal dari biasanya. Ibu masih tertidur di ranjang. Azan subuh belum bergema, segera kuraih benda pipih persegi di sisi ranjangku. Kuputuskan untuk mencoba menulis pesan lewat chatt kepada keempat kakakku nun jauh di sana. Suatu hal yang telah lama tidak kulakukan. Pelan jemariku mulai mengetik kata demi kata, namun setiap aksara yang kutuliskan seakan hampa, tiada arti dan akhirnya aku menghapusnya. Aku tidak ingin seperti kakak-kakakku, melupakan ibu yang telah menuntun dan membimbing anak-anaknya untuk menjalani kehidupan ini, baik susah maupun senang. Pandanganku mengabur, mataku mulai basah, dadaku kian terasa sesak, seolah ada beban berton-ton yang menghimpit tubuhku. Ibu, maafkan aku, aku tak sanggup membawa kakak-kakakku untuk kembali ke rumah ini. Bahkan, ketika ayah menghembuskan napas terakhirnya, suara parau yang kita perdengarkan pada mereka hanya mampu menahan mereka tiga malam di rumah ini, tidak lebih dari itu. Aku hanya pasrah menerima kenyataan tanpa mampu berbuat apa-apa untuk menahan kepergian mereka. Tak sanggup rasanya aku membayangkan luka batinmu saat itu. Baru saja kehilangan seseorang yang amat kau cintai dan engkau harus melepas kepergian anak-anakmu yang entah kapan akan kembali pulang. Ibu… ah, tiga lebaran telah berlalu tanpa arti. Hanya kita yang merayakannya dengan beberapa aksara pada chat di WA grup keluarga yang mengabarkan bahwa kakak-kakakku tak bisa pulang. “Allahu Akbaar…! Allahu Akbaaar…!” Suara azan subuh menyadarkanku dari dari lamunan panjangku. Segera kuhapus sisa air mata dan merapikan wajahku sekenanya. Kudekati ranjang, membangunkan ibu yang kebetulan ketika aku di rumah tidur bersama di ranjangku. “Eh, kamu sudah bangun, Ra?”sapa beliau. Kuraih tangannya. Bersama, kami ke belakang untuk berwudhu, lalu shalat berjamaah. Selesai salat, biasanya, ibu akan tenggelam dalam tilawah panjangnya, sementara aku mulai sibuk berbenah di dapur menyiapkan sarapan pagi. *** Benda pipih persegi itu segera kucabut dari charger. Aku akan menghubungi saudara laki-lakiku, Bang Rizal. Entah kenapa hatiku masih ragu, bayang-bayang pertengkaran kecil kami semalam terlintas lagi. “Ibu tak mau tahu, pokoknya kamu harus telepon Rizal. Besok ulang tahunnya!” ujar ibu setengah berteriak kepadaku. “Tapi Bu…! Buat apa? Paling Bang Rizal cuma bilang terima kasih, seperti tahun-tahun yang lalu. Rara capek Bu,” jawabku tak kalah sengit. “Jangan kurang ajar, Ra! Biar bagaimana pun dia kakakmu, dia juga yang menyekolahkanmu hingga sekarang. Apa salahnya kita mengucapkan selamat ulang tahun padanya,” jawab ibu lagi, lebih melunak. “Ya, Bang Rizal memang tak pernah lupa mengirimkan uang, tapi ia selalu lupa mengirimkan kasih sayang ke rumah ini!” Aku mulai terisak. “Bang Rizal, Bang Ikhsan, Celok Mela, dan Uni Neti, mereka nggak lupa kasih uang, tapi mungkin lupa letak rumah ini,” lanjutku lebih keras lagi. Untuk beberapa saat, tercipta keheningan di antara kami. Ragu aku memandang wajah ibu. Beliau cuma diam, tapi lukisan wajahnya menyiratkan kepedihan yang amat dalam. Diam-diam aku mulai dihinggapi perasaan bersalah. Dengan serta merta, kuraih tangan ibu dan menciumnya sambil berkali-kali minta maaf. Ibu menangis. Beliau balas menciumku tanpa henti. “Sudahlah Ra, tak usah minta maaf. Kamu tak salah apa-apa. Sudah nasib ibu begini, dilupakan anak-anaknya,” ujar dengan suara parau. Tangisku kian menderas, kata-kata ibu barusan benar-benar menusuk perasaanku. Aku sadar, luka hati ibu sudah terlalu dalam, tapi mengapa kasih sayangnya seolah tak pernah berhenti mengalir buat anak-anaknya. “Rara nggak akan seperti itu, Bu… Rara sayang Ibu,” jawabku sungguh-sungguh. Ibu memandangku dan mulai menyeka air mataku. Beliau tersenyum. Sungguh sebuah senyuman yang amat mendamaikan hati. Ah, kakak-kakakku, kenapa kalian begitu bodoh hingga melupakan kedamaian ini. Akhirnya, setelah kutunaikan shalat Subuh, kuraih Oppo-ku. Hatiku berdegup kencang dan nyaris menghancurkan konsentrasiku. Dengan cepat, aku menekan 12 nomor yang sudah hafal diluar kepalaku. Nomor HP Bang Rizal. Aku harus menunggu cukup lama sebelum panggilanku dijawab. “Assalamualaikum, Bang,” sapaku. “Waalaikummussalam! Ini siapa ya?” balas Bang Rizal. “Ini Rara Bang, dari kampung,” jawabku. “Oaalah Rara. Abang kira siapa. Ada apa Ra?” tanyanya. “Nggak ada apa-apa, Cuma mau bilang selamat ulang tahun buat Abang,” jawabku ringan. “Oh,… makasih Ra, ndak disangka kamu selalu ingat ultah Abang, makasih ya!” balasnya lagi. “Ibu yang selalu ingat, Bang. Beliau tidak pernah lupa ultah kita,” jawabku sambil menahan perih di hati. “Bang, ngg… anu!” tanyaku ragu. “Ada apa Ra? Apa Ibu butuh uang? Belum bisa sekarang Ra! Abang juga lagi susah. Kamu minta sama Bang Ikhsan saja ya, usahanya lagi bagus!” serobot Bang Rizal. “Bukan itu!” seruku menahan sesak. “Ibu tak butuh uang! Aku cuma mau tanya, apa Abang bisa pulang kampung?” sunggutku kesal. “Pulang kampung? Ibu sakit ya?” “J…Jaa.. jadi Abang baru mau pulang kalau Ibu sudah sakit? Iya Bang, Ibu sedang sakit!” ujarku setengah berteriak. Aku harus menumpahkan semua beban hatiku. Aku tak sanggup lagi melihat penderitaan ibu. “Ibu tak apa-apa kan? Abang sedang sibuk Ra, mungkin setelah lebaran Abang bisa pulang,” jawabnya pelan. “Tapi Abang sendiri yang menjanjikan pada Ibu ketika Ibu meminta Abang untuk pulang Idulfitri kemarin kalau Abang bisa pulang lebaran sekarang,” tuntutku. ”Habis gimana lagi!” jawabnya enteng. Detik itu juga kepalaku rasanya mau pecah. Sia-sia sudah perjuanganku. Tubuhku terasa lemas tak berdaya, namun tiba-tiba satu perkataan lagi meluncur di seberang sana, yang semakin menghancurkan harapanku. “Mungkin Bang Ikhsan dan Celok Mela juga belum bisa pulang, dan bla…bla…” Ya Allah! Sekarang musnah sudah harapanku, bathinku. Dalam diam, kututup kembali telepon itu. Pertahananku runtuh. Aku menangis sejadi-jadinya. Apa yang harus kukatakan pada Ibu sekarang? *** Waktu terus berjalan begitu cepat, tapi ibu tak pernah berhenti berharap. Dan aku, aku sendiri tenggelam dalam perasaan bersalahku. Kerut-kerut di wajah ibu seolah menghakimi aku dan membuatku semakin tersiksa dalam ketidakberdayaan. Beberapa kali kucoba menulis surat atau menelepon mereka, tapi semua itu tak lebih berharga dari segudang kesibukan mereka. Seribu satu alasan telah kulontarkan pada mereka. Namun, sepuluh ribu alasan lagi yang mereka kembalikan padaku untuk menolak ajakanku untuk pulang. Sampai akhirnya, aku bosan untuk terus berharap dan memilih untuk diam. Tapi Ibu, oh… beliau tak pernah berhenti berharap, seolah ada sungai yang mengalir yang tak putus-putus di hatinya, yang terus mengaliri harapan-harapannya. “Maafkan aku Ibu,”bathinku. *** Hari ini, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, aku berkumpul lagi bersama keempat kakakku tanpa kurang seorang pun. Cuma bedanya, kami tidak berkumpul di rumah yang penuh harapan ibu, tapi kami tengah mengelilingi dua pusara yang saling berdampingan. “Ibu, akhirnya harapan ibu terkabul. Hari ini kita bisa berkumpul bersama lagi, tepat di hari raya Idulfitri ini, Bu.” * Biodata Penulis Siswati kelahiran Nanggalo, 14 April 1981. Ia merupakan anak bungsu dari 5 bersaudara. Ia salah satu peserta Sekolah Menulis FLP Sumbar 2020 dan alumni Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Sekarang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Sejak tahun 2008 hingga sekarang, ia menjadi guru di Perguruan Islam Ar Risalah, Padang. Siswati telah menerbitkan tulisannya dalam buku berjudul Perjalanan Berkah Menuju Ka’bah Sebuah Memoar. Tema Universal dalam Karya Sastra dan Tantangan Menulis Cerita yang Tak Biasa Oleh Azwar Sutan Malaka Pembina FLP Sumatera Barat dan Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta Ragdi F Daye, dalam kata pengantar buku Kumpulan Cerpen Idul Fitri untuk Ibu 2020 menuliskan bahwa dalam cerpen-cerpen karya Forum Lingkar Pena FLP Sumatera Barat banyak menempatkan sosok ibu, baik secara harfiah maupun metaforis—keluarga, tradisi, masa lalu—menjadi titik sentral kehidupan para tokoh anak. Shabrina Maulida 2019 dalam skripsinya berjudul “Citra Ibu dalam Puisi Indonesia Modern Serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah” menyampaikan bahwa citra ibu dalam sebuah puisi karya sastra merupakan bayangan visual mengenai pribadi atau kesan mental seorang ibu yang diperoleh dari kata, frasa, atau kalimat yang ditulis dalam karya sastra tersebut. Lebih jauh Maulida 2019 menjelaskan bahwa munculnya citra ibu dalam imajinasi pembaca merupakan hasil dari usaha penulis dalam menyampaikan pandangannya. Pembaca dalam hal ini seakan dihadapkan langsung dengan sesuatu yang konkret mengenai ibu. Dengan demikian, penyajian citra dalam sebuah karya sastra tidak hanya untuk memberi gambaran yang jelas, tetapi juga dapat menarik perhatian, membangun suasana tertentu, hingga membantu dalam proses penafsiran dan penghayatan puisi. Dalam banyak karya kreatif pun, kisah tentang “Ibu” memang tak habis-habisnya dieksplorasi oleh insan kreatif. Baik di Sumatera Barat sendiri, Indonesia, bahkan karya-karya kreatif dunia. Di Indonesia beberapa karya sastra bertema Ibu diantaranya adalah Novel Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto yang diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 1981 dengan tebal 231 halaman. Motingo Busye menulis novel berjudul Rindu Ibu adalah Rinduku. Motinggo Busye merupakan sastrawan penting yang banyak menelurkan karya pada tahun 60-an. Rindu Ibu adalah Rinduku berkisah tentang seorang perempuan bernama Lisdayani, seorang istri dan ibu dari enam orang anak. Cerpen yang terbit di Kreatika minggu ini berjudul “Idul Fitri untuk Ibu” karya Siswati. Cerpen ini bercerita tentang rindu seorang ibu terhadap anak-anaknya. Cerpen ini dibuka oleh penulisnya dengan dramatis di mana di tengah malam beberapa hari menjelang Hari Raya Idul Fitri, seorang ibu keluar dari rumah untuk menunggu kehadiran anak-anaknya yang merantau. Cerita yang dramatis itu terlihat dari paragraf berikut ini “Mereka tidak akan pulang malam ini, Bu,” ucapku bergetar. Aku tahu, ibu tidak akan suka mendengar perkataanku barusan, tapi aku sudah tidak punya kata-kata lain. Bahkan, aku memang tidak pernah punya jawaban atas pandangan ibu barusan. Aku cuma diam, lalu berbalik masuk ke rumah. Kalau sudah begini, ibu pasti akan menangis, meratapi nasibnya yang telah dilupakan anak-anaknya. Aku sadar bahwa perbuatan itu pelan-pelan telah membunuh harapan ibu, harapan untuk berkumpul dengan anak-anaknya lagi. Siswati, 2020. Penekanan penulis terlihat pada kalimat “Kalau sudah begini, ibu pasti akan menangis, meratapi nasibnya yang telah dilupakan anak-anaknya.” Kisah ini menjadi bagian yang sering dieksplorasi penulis, kisah kerinduan seorang ibu pada anak-anaknya yang sudah hidup dengan kehidupan mereka masing-masing. Kisah rindu seorang ibu menjadi pilihan penulis untuk diceritakan baik dalam cerita pendek ataupun cerita-cerita yang panjang, adalah pilihan sadar bahwa tema tentang “Ibu” memang tema yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Dia tema abadi sepanjang masa, sama abadinya dengan kisah-kisah cinta orang tua pada anaknya. Ragdi F Daye 2020 melanjutkan bahwa kemelut relasi dan interaksi dengan keluarga mucul dalam “Idul Fitri untuk Ibu.” Berawal dari sejumlah perdebatan tentang anak-anak yang berkali-kali gagal—atau sengaja menolak?—mudik, hingga berujung pada “Hari ini, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun aku berkumpul lagi bersama keempat kakakku, tanpa kurang seorang pun. Cuma bedanya, kami tidak berkumpul di rumah yang penuh harapan ibu, tapi kami tengah mengelilingi dua pusara yang saling berdampingan.” Kisah cerita yang tragis yang ditulis oleh Siswati 2020 dimana anak-anak hanya bisa berkumpul ketika ibunya sudah tiada menjadi pesan moral yang dibebankan pada cerita. Penulis ingin menyampaikan pada pembaca, selama masih memiliki orang tua, sesibuk apapun urusan dunia yang sedang dihadapi sempatkanlah untuk menyilau orang yang sangat berjasa dalam hidup setiap manusia itu. Walaupun ada cerita-cerita tentang kejamnya “Ibu” dalam beberapa karya sastra, namun tema tentang jasa para “Ibu” selalu mendominasi tema-tema cerita tentang ibu. Hal ini menunjukkan bahwa pilihan tema yang universal ini selalu menarik untuk diceritakan saat ini dan untuk masa depan. Tantangan dari mengangkat tema yang universal ini adalah sulitnya mengeksplorasi cerita tentang “Ibu” ini. Ini tentu karena sudah banyaknya cerita-cerita tentang ibu yang rindu pada anak-anaknya. Hal ini jugalah yang menjadi kelemahan dalam cerita pendek berjudul “Idul Fitri untuk Ibu” karya Siswati ini. Tema yang universal dan sudah sering berulang dalam beberapa karya sastra ini membuat cerpen ini sangat mudah untuk dibaca alur cerita dan endingnya. Satu paragraf membaca cerpen ini seolah sudah memberi gambaran pada pembaca bagaimana akhir cerpennya. Setelah membaca beberapa paragraf awal, pembaca bisa menebak akhir cerpen ini. Apakah akan mengarahkan pada cerita dengan happy ending akhir cerita bahagia atau cerita dengan sad ending akhir cerita sedih. Jika cerita akan berakhir bahagia, tentu sebelum lebaran datang, anak-anak yang dirindukan oleh tokoh ibu ini akan bisa pulang melihat sang ibu walaupun dengan berbagai tantangan yang dhadapi anak-anaknya. Sementara itu jika cerita ini akan berakhir sedih, ya…sudah dapat ditebak juga bahwa sang ibu akan merana menunggu anaknya yang tak datang-datang sampai hari lebaran tiba. Nah, Siswati teryata memilih cerpen “Idul Fitri untuk Ibu” berakhir dengan sedih sad ending dimana ia “membunuh” tokoh Ibu dalam cerpennya sebelum anak-anaknya berkumpul melihatnya. Pilihan tema sedih ini tentu dapat dimaklumi karena pengarang ingin menekankan pesan moral bahwa jangan sampai terlambat menjumpai sosok ibu, apalagi terlambat berbakti pada ibu walau hanya dengan memenuhi keinginannya untuk berkumpul pada hari raya. Sebagai lulusan Sastra Indonesia, Siswati perlu ditantang untuk menulis cerita yang lebih menarik dengan mengangkat tema-tema yang tidak universal. Ada pilihan tema yang mungkin jarang dieksplorasi dalam karya-karya fiksi tentang banyak hal, seperti perjuangan guru yang berkebutuhan khusus, tentang cinta yang tak biasa antara anak manusia, tentang hubungan manusia dengan alam atau lingkungannya dan tentang banyak hal yang spesifik yang jarang dieksplorasi dalam cerita. Memang butuh keberanian untuk menghadirkan karya sastra yang bertema tidak biasa, akan tetapi untuk memperkaya khasanah sastra Indonesia, kita membutuhkan karya-karya yang tidak biasa itu. Semoga saja Siswati dan juga pengarang-pengarang lainnya di Forum Lingkar Pena FLP khususnya dan di Indonesia pada umumnya mampu menjawab tantangan ini –Menulis karya sastra dengan tema yang tak biasa–. * Catatan Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra cerpen dan puisi. Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar
Cerpen Karangan Galuh Rengganis NugrahainiKategori Cerpen Anak, Cerpen Keluarga, Cerpen Nasihat Lolos moderasi pada 12 September 2013 “Ayo bangun Fazzy! Kita hari ini Sholat ied lho! Nanti kita bisa ketinggalan!” Panggil kakak dari Fazzy bernama Mizzy. Mereka kakak beradik kembar. Umur mereka sama, Fazzy 12 tahun, Mizzy 12 tahun lebih 1 bulan. Wajah mereka sangat mirip. Sampai-sampai, guru dan teman-teman mereka masih keliru memanggil nama mereka secara refleks. Walaupun mereka kembar, mereka tidak pernah berebut sesuatu. Mereka juga tidak saling ribut. Akhirnya Fazzy bangun. Dia kaget, ternyata Papa, Mama, dan Mizzy sudah siap dengan baju lebarannya masing-masing. Fazzy sangat terburu-buru. Akhirnya, semua sudah siap. Keluarga itu pun menjalankan sholat Ied berjamaah di Masjid dekat rumah mereka. Setelah sholat Ied. 1 keluarga itu melakukan sungkeman. Setelahnya, mereka berkunjung ke rumah saudara sepupu Fazzy dan Mizzy. Setelah sampai di tujuan, Hanny menyambut adik-adik sepupunya dengan antusias. Mereka bermain di sungai sebelah rumah Hanny. Fazzy iseng mengerjai kakaknya dengan mencipratkan kecil air sungai ke kaki kakaknya. “Fazzy! Jangan iseng dong! Basah nih celanaku..” Keluh Mizzy. “Sorry kak, sengaja..” Canda Fazzy. Hanny melihat saudara kembarnya sambil tertawa. “Sudah-sudah, kita makan dulu yuk. Lapar nih” Ajak Hanny. Mereka pun makan bersama dengan menu hidangan yang seharusnya ada di hari raya Idul Fitri ini, yaitu opor ayam dan ketupat. Bisa juga ditambahkan dengan sambal goreng. Selesai makan bersama, seluruh keluarga besar berbincang-bincang. Sesekali mereka tertawa juga. “Hari sudah sore, kami pamit pulang dulu.” Pamit Ayah Fazzy dan Mizzy. “Iya pak, silahkan” Ujar Tante Anis. Saat perjalanan pulang, tiba-tiba keluarga itu tak sengaja menyaksikan kecelakaan saat di lampu lalu lintas. Pengguna kendaraan motor, melanggar lampu merah yang tandanya harus berhenti. Karena kecerobohannya itu, pengguna motor tertabrak mobil dari samping. “Yah, itu gimana? Masa didiemin aja?” Tanya Mama panik. “Yuk, kita turun semua bantuin dia!” Ajak Ayah dengan bijaksana. Keluarga itu pun membantu pengguna motor itu. Untungnya, hanya luka ringan. Motornya ada bagian yang pecah, tapi masih bisa di gunakan. “Terima kasih Pak, Bu, Dik. Saya lalai saat berkendara. Sekali lagi, saya mengucapkan banyak terima kasih.” Ucap pengguna motor itu. “Iya pak, kami iklhas membantu. Lain kali jangan lalai lagi ya pak.” Nasehat Ayah. “Pasti pak, terima kasih.” balasnya. Setelah kembali ke mobil.. “Yah, enak juga ya bisa membantu walaupun orang yang belum kita kenal.” kata Fazzy. Mizzy sang kakak pun mengiyakan. “Iya Fa, kita juga akan mendapat pahala oleh Allah SWT di hari yang istimewa ini.” Ujar Ayah. “Yee…” sorak 2 kakak beradik tersebut. Makna di hari Idul Fitri kali ini lebih berarti dari hari-hari sebelumnya karena mereka bisa membantu siapa saja dimana saja dan kapan saja.. Cerpen Karangan Galuh Rengganis Nugrahaini Hai! Namaku Galuh Rengganis Nugrahaini. Aku kelas 6 SD Gayamsari 02 Semarang. Maaf jika cerpenku ini masih belum sempurna. Maaf jika ada kesamaan tokoh/topik. Tapi saya benar-benar membuat cerpen ini tanpa mencontek hasil karya lain. Cerpen Makna di Hari Raya Idul Fitri merupakan cerita pendek karangan Galuh Rengganis Nugrahaini, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Share ke Facebook Twitter WhatsApp " Baca Juga Cerpen Lainnya! " Aku, Cinta Dan Sepeda Ontel Oleh Shollina Pagi ini sungguh harum sekali dengan mekaran mawarku yang berada di depan halaman yang begitu indah. Memang tanahnya tak cukup untuk menanam sebuah bunga apalagi sampai bercocok tanam. Namun Paah, Aku Ingin Pergi Oleh Findriana Putri Evtan Paah, aku berdoa dalam harapku. Paah, aku menunggu dalam sedihku. Setiap hari dalam hidup terasa sama, aku bangun dan mendengar asma Allah dikumandngkan. Aku bangkit dan masih berharap akan Ketulusan Ibu Oleh Ulfi Rohma Namaku sasa yang masih duduk di bangku SMA. Aku anak tunggal yang hidup bertiga dengan kedua orangtuaku. Waktu itu, aku sangat bahagia berada di tengah-tengah keluarga yang sangat menyayangiku. Cerita 20 Tahun Oleh Theodora Dayanti 20 Tahun. Dimana kita lagi seru serunya ketemu temen baru, suasana baru, tempat baru yang belum pernah kita temuin, tanggung jawab sama kerjaan, tugas tugas numpuk yang bikin tidur Gadis Pemandang Langit Part 1 Oleh Sintia Ana Bela Dia gadis yang menawan, kebiasaannya adalah memandangi langit, siang atau malam di taman kota. Namanya Niky Bilqis, sering dipanggil Kiki, ia akan memandangi langit dengan banyak ekspresi, seperti nangis, “Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?” "Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan loh, bagaimana dengan kamu?"
Hai Sobat Guru Penyemangat. Semoga Allah menerima amal kita semua khususnya pada bulan Ramadan tahun ini, kita kepada Allah atas segala nikmat, terutama nikmat sehat dan sempat sehingga bisa bertamu ke momentum Idul Fitri di bulan tulisan yang baku itu adalah Idulfitri, sih. Tapi entah mengapa ucapan hari raya yang satu ini lebih masyhur ditulis dengan cara dipisah. HehePada kesempatan yang berbahagia ini ingin menghadirkan cerpen bertema tentang Idul Fitri berikut berjudul kata-kata maaf yang terlambat ingin mengajak kita memahami esensi maaf di hari disimak yaCerpen Idulfitri Kata-kata Maaf yang TerlambatOleh Ozy V. AlandikaHari ini tepat 1 Syawal. Ternyata bulan Ramadan baru saja pamit untuk berpulang. Ia meninggalkan almanak, euforia jajanan takjil, dan menyisakan segepok kurma untuk melanjutkan puasa 6 yang pergi meninggalkan sepi. Sepi dirasa, sepi di hati, tapi tidak dengan ponsel pintarku. Sedari Subuh notifikasi tiada pernah berhenti sudah tahu apa embun…Sesejuk senja…Seputih awan…Setulus rasa… dan segunung kata-kata mutiara bin puitis lainnya. Itulah hari raya Idulfitri, lebarannya umat Islam di seluruh entah mengapa, aku masih saja mengingat perkataan guruku. Sekitar seminggu yang lalu, beliau pun sempat berkata kepada kami pada momentum pengumuman sekaligus penutupan pesantren kilat Ramadan.“Anak-anak, pada kesempatan yang berbahagia ini, Bapak mewakili Bapak/Ibu Dewan guru, kepala sekolah, serta segenap karyawan SD mengucapkan mohon maaf lahir dan batin. Jikalau ada hak-hak kalian yang belum sempat kami penuhi, mudah-mudahan hak tersebut kalian relakan sehingga tak menjadi beban tuntutan bagi kami di akhirat nanti. Adapun segala khilaf dan salah kalian sudah kami maafkan. Bapak ucapkan selamat menyambut Hari Raya Idulfitri.”Para guru di sekolah sudah sejak jauh-jauh hari melantunkan ucapan maaf. Iya, aku tahu. Alasannya sederhana, karena ketika nanti anak-anak bersekolah, suasananya tidak akan seramai hari lagi takbiran Idulfitri menurut ketentuannya memiliki batas akhir yaitu setelah khotib turun dari mimbar. Beda dengan Idul Qurban, takbirannya hingga 3 hari ke begitu, agaknya esensi dari ucapan guruku tidaklah sesederhana itu. Lebaran Idulfitri memang menjadi momentum yang pas untuk saling saja menurutmu Idulfiri sebagai hari kemenangan adalah kesempatan yang besar bagi kita untuk menguatkan tali yang jauh, pulang ke kampung halaman hanya demi bersua dengan keluarga dan orang tua tercinta setelah sekian lama dipisahkan oleh mereka yang dekat, tidak henti-hentinya singgah ke rumah tetangga, sanak, hingga handai tolan untuk sekadar bersilaturahmi dan saling cicip-mencicip kue bermaaf-maafan?Sudah telat, sih. Kapan bermusuhannya, kapan minta maafnya. Kapan berkata syahdan menyakiti hati, tapi kapan pula mengakui kesalahan dan berusaha untuk tidak jatah bermusuhan sesuai dengan anjuran Rasulullah SAW tidak boleh lebih dari tiga hari?Kadang aku malah bingung. Tapi aku bukanlah orang sok alim yang langsung ingin menuduh bahwa kegiatan bermaaf-maafan di hari raya Idulfitri itu bid’ah karena tidak ada contoh yang dilakukan oleh Nabi Muhammad nantinya bertemu dengan orang semacam itu, rasa-rasanya gantian aku yang mau berkata, “Memangnya ada dalil bahwa Rasulullah SAW mengharamkan kita untuk meminta maaf di hari raya Idulfitri?”Aih, sudahlah. Aku bukanlah orang yang suka mendebati hal semacam itu. Intinya, kalau segala sesuatu hanya dipandang dari kebencian, maka segunung dalil pun tidak akan mampu memuaskan mereka. Bukankah untuk melarang atau mengharamkan sesuatu itu butuh dalil?Tentu Aku tidak mau membahasnya lebih dalam. Aku yakin bahwa selama umat muslim berpikir dengan kepala dingin, tidak meninggikan hawa nafsu, maka semua akan aman, damai, dan saling ya, kalau kemudian banyak orang menunggu momentum Idulfitri sebagai waktu yang tepat untuk bermohon maaf, maka itu yang tidak salah, kesalahannya dilakukan bulan ini sedangkan lebaran masih beberapa bulan terbayangkan oleh kita seberapa banyak dosa yang dikumpulkan karena kedua belah pihak telah memutuskan tali silaturahmi. Lebih dari tiga hari lho?Berpuasa di bulan Ramadan memang merupakan jalan menuju takwa, tapi ada banyak gang lain pula yang terbuka untuk kita tempuh agar mencapai takwa. Termasuklah bersegera dalam meminta SWT berkalam dalam QS Ali-Imran ayat 133-134وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ يُنفِقُونَ فِي ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلۡكَٰظِمِينَ ٱلۡغَيۡظَ وَٱلۡعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ .[آل عمران133-134]ArtinyaDan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat ayat tersebut, mukmin yang cerdas pasti bisa memetik hikmah bahwasannya perilaku menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain adalah jalan lain menuju bila dicermati lebih lanjut, perilaku saling memaafkan ini pula harus disegerakan sebagaimana perintah Allah pada ayat 133, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu…”.Maka dari itulah, marah itu jangan lama-lama. Dendam itu jangan lama-lama. Semisal dendam sudah lama tumbuh dalam hati, sontak saja semua yang dilakukan oleh orang lain itu adalah ketika orang yang didendam itu sedang mendapat kebaikan, si pendendam malah iri, dengki, dan merasa bahwa Allah itu tidak adil karena telah memberikan kebahagiaan kepada orang min dzalik!Makanya itu, kalau saling bermaaf-maafnya harus menunggu hari raya, itu kelamaan. Kata-kata permintaan maaf yang sebening embun, seputih awan dan semisalnya itu adalah ucapan yang tidak apa-apa juga, sih. Daripada tidak sama sekali, kan. Setidaknya kita sudah menjalin atau bahkan mempererat kembali tali silaturahmi. Toh itu juga adalah jalan menuju takwa.****Boleh Baca Cerpen Menghitung Pemberian TerbaikDemikianlah tadi sajian Guru Penyemangat tentang cerpen bertema Idulfitri yang membahas tentang ucapan dan kata-kata maaf yang bermanfaat dan jadi
cerpen tentang idul fitri